What is your name?



My name is Siti Khadijah. My nick name is Ijah, not Khad or Bleki. Before, I felt shy to called Ijah. You know? Ijah is a servant's name on the shoap - opera tv show.

***

"Eh, eh, aku nemuin artikel keren nih," ucap Aniqah heboh. Ditepuknya bahu teman-teman satu-persatu, hingga mereka yang ditepuk bahunya menoleh sebentar dan menatap dengan tatapan bingung.
 Ada Khadijah yang melepaskan earphone-nya, ada Pia yang menekan tombol pause untuk game-nya, ada Aisha yang meletakkan majalah dengan artikel tips buat diet.
 "Coba lihat, headline artikelnya: Beberapa nama yang sering dijadikan nama pembantu dalam sinetron atau film," Aniqah meletakkan smartphone-nya ke atas meja Khadijah.
Mereka masing-masing menjulurkan kepala, menengok lebih jauh. Hanya Pia yang melihat sekilas, lalu melanjutkan game-nya lagi.
 Aniqah tersenyum senang, sebab mendapatkan respon. Dibacanya keras-keras. "Pertama Ijah! Kedua Inem! Ketiga Iyem! Keempat Inah! Kelima Surti!"
"Hihihi, lucu-lucu, ya. Namanya agak gimanaaaa gitu?" Aisha menutupi mulutnya yang ingin terbahak. Masalahnya, ini perpus coy!
Khadijah merasakan ada setruman yang melilit dadanya, apalagi teman-temannya sontak memandangnya dengan heran.
Ijah? Urutan pertama!
Dan, panggilannya di rumah?
 IJAH!
Pia berpaling sebentar, menatap wajah Khadijah. "Khadijah, kamu sakit?" Tanyanya menempelkan telapak tangan di dahi Khadijah.
"Kok pucat?" Tanya Aisha juga semakin bingung.
"Ini artikel populer, lho. Bukan artikel tema horor, kok kamu wajahnya kayak phobia gitu?" Aniqah mengernyitkan alisnya.
Khadijah menggeleng. Buru-buru pergi keluar kelas. "Aku duluan, ya!" Teriaknya di ambang pintu, lalu menghilang.
"Eh? Kemana tu dia? Kok gini amat sih?" Aisha menggaruk-garuk kepalanya yang nggak gatal. Bikin bingung.
"Aneh!" Timpal Aniqah sambil mengucap: ckckckck.
Mata Aisha terpaku di atas meja. "Earphone sama MP4 dia ketinggalan, tumben banget. Ini barang kan prioritas penting buat dia, apalagi hobinya denger nasyied." Ucap Aisha menunjuk earphone berwarna putih dan benda kecil berbentuk kotak berwarna pink.
"Mungkin dia buru-buru." Kata Pia meletakkan tab-nya di atas meja.
"Buru-buru kemana coba?" Aisha masih resah saking bingungnya.
Aniqah melirik jam di pergelangan tangan kirinya. "Bel istirahat masih tinggal lima belas menit lagi, lumayan lama. Masa dia istirahat duluan?"
"Ke toilet kali, bisa aja kan saking horornya tu artikel bisa bikin dia kebelet kebelakang!" Pia kembali memainkan tab-nya.
Aniqah dan Aisha saling berpandangan. Lalu berteriak bersama. "PIAAA! NGGAK GITU JUGA KALEEE!!!"
***
Pulang sekolah, Khadijah buru-buru keluar gerbang sekolah. Masih bete.
"Ijah!" Panggil Bang Thoriq berlari dari koridor kelas sepuluh, mengejarnya di depan gerbang.
Khadijah terus melangkah, mencoba nggak peduli. Menutup kedua telinga, rapat-rapat. Dengan langkah yang cepat. Tapi, teriakan Bang Thoriq masih saja mengganggu.
"Ijah!" Panggil Bang Thoriq, lagi.
Khadijah berbalik, menatapnya tajam.
 "Apa sih, Bang? Dari tadi panggil-panggil mulu," Omelnya, nggak peduli irama napas dan dadanya yang naik-turun karena capek abis melangkah cepat barusan.
"Minta air, dong!" Bang Thoriq membungkuk, luar biasa capek.
"Jadi, teriak panggil-panggil namaku hanya untuk minta air, Bang?" Khadijah merengut, mengeluarkan sebotol kemasan air mineral dari dalam tas sekolah.
Bang Thoriq menerima botol air mineral, menegaknya. "Nggak, cuma mau kasih tahu. Pesan Bunda tadi pagi, kalo Ijah harus beliin sekotak kurma di toko Pak Ahmad." Ucapnya sesudah minum.
"Kenapa aku? Kenapa, nggak Bang Thoriq aja?" Tanyaknya agak sewot.
"Ck! Nih anak, dikasih tau malah nyolot. Gini ya, Adikku yang manis kayak gula aren yang udah dikerubung semut.. Abang ada rapat untuk para pengurus Rohis hari ini, untuk pesantren ramadhan nanti. Nggak bisa diundur-undur, apalagi dibatalin. Kudu tepat waktu. Kamu sih gampang, orang cuma anggota kelas sepuluh aja!" Terang Bang Thoriq memencet hidung Adiknya.
Khadijah manyun. "Tapi aku juga ada jadwal bulanan ke toko CD, Bang. Mau beli CD edcoustic!" Ngotot menolak.
Bang Thoriq balas melotot, telunjuknya mengetuk-ngetuk jam tangannya. "Ntar kan bisa, pokoknya harus beliin sekotak kurma pesanan Bunda. Ini tentang amanah. Awas lho, ya! Udah, deh! Abang mau berangkat. Assalamu'alaikum!" Katanya berlari menuju gerbang sekolah, masuk ke dalamnya.
Lalu lenyap, meninggalkan gadis berjilbab putih yang berdiri dengan wajah masam, masih tidak rela.
Ia menghela napas panjang. Pertama, dipanggil-panggil 'Ijah'. Nama kecil yang sekarang mulai ia sadari itu kuno sekali. Itu lho, nama-nama pembantu di acara-acara sinetron. Entah, mungkin terpengaruh artikel yang Aniqah perlihatkan sewaktu jam kosong pagi tadi.
Tetapi yang pasti, mendengar nama itu rasanya ia sudah tidak suka dan kesal sendiri. Huh.
Kedua, memaksanya untuk pergi ke toko kurma Pak Ahmad langganan Bunda. Di sana, ada satu anaknya Pak Ahmad yang kalo siang-siang seperti ini menjaga toko.
 Namanya Bang Umar. Ganteng, seumuran Bang Bakri, lulusan pesantren. Tapi.. Membuatnya keki, nyaris mati gaya. Pernah sekali, dia membeli kurma saja dinasehati. Karena Khadijah mengucapkan salam dengan gaya yang sangat gaul, ditambah nasyied yang didengar melalui earphone ia lantunkan sambil menunggu kembalian uang.  Katanya, muslimah itu nggak boleh terlalu urakan dan sembarangan. Setelah itu, rasanya ia nggak pernah kepingin lagi membelikan kurma di sana.
Bang Umar, menurutnya adalah contoh orang yang salah alamat dalam ranah dakwah. Dakwah sih dakwah, tapi 'kan ada kondisi dan subjek yang tepat. Siapa nggak males ketemu dia?
 Yaa.. Contohnya saja, Khadijah!
Tiba-tiba suara cekikikan terdengar dari balik semak-semak di pinggir jalan, semak-semak yang rimbun di dekat gerbang sekolah, yang sekarang bergerak-gerak. Ia memegang tengkuk lehernya, merinding. Pandangannya disebar ke sekitar, nggak ada orang! Lututnya melemas. Sedikit terbata-bata, ia membuka suara.
"Tolong jangan ganggu saya. Saya masih gadis, masih muda, masih imut. Masa depan saya masih panjang. Ampuuuuun.. " Merengek sampai hampir menangis.
Teringat tentang berita pembunuhan, penculikan, mutilasi, dan apalah namanya itu. Khadijah makin parno.
Cekikikan itu terdengar lagi, lebih keras.
"Hihihi, Bi Ijah! Udah bikin sayur asem belum? Oh, iya. Cucian numpuk, tuh." Terlihat Pia keluar dari balik semak-semak.
 Ngakak heboh.
Asem! Asem! Asem!
***
"Jadi, nama panggilan kamu Ijah? Terdengar agak kampungan, ya." Celetuk Aniqah tanpa merasa berdosa.
Khadijah meringis.
Khadijah, itu nama panggilannya di sekolah, oleh teman-teman. Dia tidak pernah membiarkan namanya dipanggil setengah-setengah, dan semua orang sepakat untuk menyetujui.
 Baginya cukup Bunda, Bang Thoriq, dan Bang Bakri yang kalo di rumah memanggil Ijah. Biarpun sekarang, rasanya sebal saat tiba di rumah.
"Jadi, kamu malu dipanggil Ijah? Apalagi Bi Ijah, iya 'kan?" Tanya Aisha begitu lembut. Lembut-lembut seperti itu, rasanya tetap menyebalkan di telinga Khadijah.
Ia menenggelamkan wajah ke atas meja, nggak peduli dengan aroma bakso yang seringkali nggak tahan buat ngembat. Tapi.. Kali ini, nggak nafsu. Suer!
"Aku punya ide, Khadijah." Ucap Aisha bagai angin segar.
"Apa? Apaaaaaa?" Tanyanya merepet.
"Ganti nama aja." Ekspresi Aniqah berkata seolah solusinya yang paling oke.
"Iya, betul. Ganti nama. Ngomong aja sama Bunda kamu. Mungkin.." Aisha menopang wajahnya di atas meja dengan kedua tangan. Membiarkan pipinya yang tembem tertangkup di antar kedua tanngannya.
"Puppy? Pussy? Atau, Bleki? Sumpah, cocok banget buat kamu." Timpal Pia sadis, dengan ekspresi yang nagih buat digampar.
TIDAKKKK!!!
Dia langsung melangkah ke karyawan warung bakso, membisiki beberapa kalimat. Lalu pulang membawa sekotak kurma pesanan Bunda--yang dibeli di toko selain tokonya Pak Ahmad, sebelum mampir ke warung bakso ini--tanpa mempedulikan tatapan Aniqah dan Aisha, apalagi Pia.
 Tak berapa lama setelah sampai di rumah, ponselnya berbunyi tanda satu pesan masuk:
from: Aniqah Cikidaw
u very2 parah. Msa bakso aku yg byarin, nggk bilang2 lg. Untung ad uangnya, klo nggk aku sma Aisha+Pia bakal cuci piring di kedai bakso.
Khadijah ngakak.
***
Jam menunjukkan pukul dua puluh dua, waktu yang seringkali digunakan untuknya tidur. Tapi, gara-gara kalimat Aisha tadi sore. Matanya jadi sangat bandel untuk ditutup. Memandangi langit-langit kamar yang berwarna ungu tua, samar-samar terdengar suara televisi dari ruang tengah.
"Ganti nama aja,"
Napasnya terasa berat.
Ganti nama? Why not? Kudu menyembelih kambing lagi nggak, ya?
"Jah, belum tidur?" Wajah Bang Thoriq melongok dari balik pintu kamar, tersenyum.
"Lagi bingung nih." Katanya sedikit ragu.
Bang Thoriq langsung masuk ke dalam kamar, membusungkan dada. Gaya heroik. "Jangan sedih.. Wahai adinda, apakah gerangan yang kau pikirkan? Ceritakanlah pada Kakanda."
Khadijah mencibir. Masa sih, Abangnya yang begitu kharismatik dan keren sewaktu memimpin rapat di organisasi, jadi segini noraknya?
"Bang, Ijah pengen ganti nama. Kira-kira dibolehin Bunda, nggak?"
Bang Thoriq menatap lama, mencari-cari suatu jawaban. Mencoba berpikir sejenak. "Emm.. Kenapa mau ganti nama?"
Dan, luapan-luapan yang sudah lama berkarat di hati itu keluar. Merembes tak terkendali.
"Ijah malu, Bang! Dipanggil Ijah, kayak nama pembantu di sinetron-sinetron itu! Abang pasti tau, temen-temenku itu ratunya ngejek. Aku di panggil-panggil Bibi! Kayak pembantu aja. Menurutku, nama Ijah itu kuno. Kampungan!" Cerocosnya cepat, mengambil napas sebentar. "Jadi, menurut Abang, aku boleh nggak ganti nama?"
Bang Thoriq masih berpikir. "Kalo ganti nama, udah nyiapin nama yang pas, belum?"
Khadijah tertegun, ikut-ikutan berpikir keras, menggaruk-garuk kepala. "Belum, ada rekomendasi?"
"Khad Perez, Lady Tiger, and Nyi Meong, Cilalacilulu.." Bang Thoriq ketawa keras, Khadijah melempar boneka angry bird ke wajah Abangnya yang cepat sekali menghindar itu.
Huh, menyebalkan!
Khadijah cemberut. Manyun.
"Dek, kita main tebak-tebakkan, yukk!" Ajak Bang Thoriq.
Menggeleng. "Nggak mau!" Sahutnya ketus.
"Yang kalah boleh mentraktir susu cokelat ditambah ice cream-nya di cafe Om Abdur." Rayu Bang Thoriq.
Khadijah menoleh, menatap wajah Abangnya. "Ada yang lain?" Berharap itu sungguhan.
"Emm, yang kalah nanti ngebeliin koleksi album nasyid grup Edcoustic, lho!" Kata Bang Thoriq dengan nada mirip sales yang menawarkan apartemen dengan diskon 25%, padahal dia agak menyesali apa yang dikatakannya.
Khadijah tersenyum, mengangguk.
Bang Thoriq mengingat-ingat isi dompetnya.
"Coba tebak. Siapa sosok wanita hebat, jaman Nabi Muhammad.. Yang cantik, yang kaya, yang cerdas, yang subur, yang penuh semangat. Beliau, juga istri Rasulullah." Bang Thoriq berucap dengan nada seperti pembawa acara kuis di televisi.
Khadijah mengingat-ingat sejenak.
Ini sih keciiil.
"Siti Khadijah. Betul, 'kan?"
Bang Thoriq mengacungkan jempol. "Very good!"
" Yaiy! Aku bisa minum susu cokelat sampe kembung terus ngoleksi album lagu milik Edcoustic, horeeeee!" Khadijah terlonjak senang, melompat-lompat di kasur, berseru-seru heboh.
"Eh, tunggu.. Siapa tadi? Coba sebut lagi!" Perintah Bang Thoriq.
Khadijah duduk di kasurku dengan manis, lagi. "Siti Khadijah." Berucap tenang. Seperti kucing yang siap menerima ikan bandeng.
"Siapa namamu, Adikku yang manis?" Tanya Bang Thoriq.
Diam.
Aku.. Siti Khadijah.
"Yang cantik, yang kaya, yang cerdas, yang penuh semangat." Bang Thoriq mengucapkan sambil tersenyum bangga. "Nama itu harapan, pemberian setiap orang tua yang wajib disyukuri karena itu sebuah doa."
***
Pagi ini, jam pertama. Bahasa Inggris.
 Khadijah menopang dagu, memandang langit dari jendela kelas yang cukup besar. Menunggu guru yang suka telat itu membosankan. Apalagi, sekarang.. Dia malas ngobrol bersama tiga sahabatnya, yang emang nggak bisa diajak ngobrol, karena emang nggak satu kelas!
"Good morning every body!" Sapa Mr. Joddy ramah. Seolah nggak bersalah bikin murid mati bosan menunggu beliau yang doyan telat masuk kelas.
"Good morning, Sir!" Jawab seisi kelas serempak, bersamaan.
"Oke, anak-anak. Minggu lalu, kita sudah belajar materi introduce secara teori. Sekarang, kita belajar untuk praktek maju ke depan kelas. Emm.. Hei, you! Come here!" Terang Mr. Joddy panjang lebar, lalu menunjuk seseorang yang tengah duduk manis di baris depan.
Khadijah menoleh ke belakang, Layla mengangkat bahu dengan tatapan: 'kamu yang dipanggil, Mister.'
 Dia menunjuk mukanya. "Me?"
"Yes, you! Come here, girl!" Teriak Mr. John.
Maju ke depan kelas, ia merasa jantungnya jumpalitan ditatap puluhan pasang mata. Menarik napas pelan-pelan. Menghembuskannya pelan. Menatap ke depan, seolah hanya berkata dengan diri sendiri. "Good morning, guys. I want to introduce my self. My name is Siti Khadijah. My nick name is Ijah, not Khad or Bleki. Before, I felt shy to called Ijah. You know? Ijah is a servant's name on the shoap - opera tv show. But, now.. I'm proud with my name. Siti Khadijah, wife's Rasulullah. She is beautifull, smart, rich, and full spirit. I hope she's character to be in my self. And, called me Siti Khadijah."
Seisi kelas terdiam, terpaku.
"Fantastic!" Mr. John bertepuk tangan.
Seisi kelas bertepuk tangan.
"Keren juga english language kamu. Oke punyaaa!" Puji Layla.
Khadijah tersenyum, merasakan kedua pipi yang mulai terasa panas. Thanks for Allah and Bang Thoriq.
Semua, panggil saja dia Ijah! (*)


Kamis, 15 Ramadhan 1439H
Qatrunnada Hulwah
#fkiashshirath
#comfortableandcreative

Komentar