Sebongkah Hati Milik Rere


Kamu, tahu? Allah adil dengan segala ketidak-adilan-Nya yang kurasakan. Mungkin, hatiku terlalu buta dengan segala luka.
***

Aku melihat sosok itu dalam gelap, tubuhnya sedikit terseok-seok berjalan. Tak tentu arah. Dengan pasti, aku mendekatinya yang ternyata sudah kalap dalam tangisnya.

"Jangan dekat-dekat!" Teriaknya marah. Matanya membesar, menatapku penuh kebencian.
"Rere?"
Aku mengenalinya, sebagai seseorang yang suka bergaul dengan siapa saja. Tentu aku mengenalnya, cewek populer di sekolah. Bukan sebagai teman, bukan sebagai kenalan. Sekedar tahu, bahwa ia satu sekolah denganku. Anak IPS yang benar-benar hebat berargumen, murid kesayangan Pak Nurdin guru Bahasa Indonesia kami. Rere dikenal sebagai siswi pintar, kaya, dan cantik. Ia pernah satu kali mengharumkan nama sekolah kami dengan lomba debat yang ia menangkan, dua kali membawa piala-piala besar dari dinas pendidikan sebab ia juara satu olimpiade ekonomi tingkat provinsi. Prestasinya gemilang, semua orang tahu dia, dan mobil merahnya yang mengkilap.

"Jangan sok peduli, pergi sana!" Teriaknya, lagi. Ketika aku mendekatinya, berjarak lima meter dari ia berdiri.

Matanya kuyu, memerah. Tubuhnya penuh keringat. Rambutnya panjang tergerai acak-acakan. Sweater putih bergambar micky mouse yang lucu membalut tubuhnya yang ramping. Rere bukan seperti yang kulihat di sekolah, wajahnya kerap tersenyum kepada siapa saja. Namun, sekarang?

"Kamu, tahu? Tuhan adil dengan segala ketidak-adilan-Nya yang kurasakan. Mungkin, hatiku terlalu buta dengan segala luka." Rere duduk di atas trotoar, sesenggukan menatap ke jalan.

Aku menatapnya bingung, meragu duduk di sebelahnya. Namun, tatapannya yang hampa tak bisa kuingkari untuk tidak penasaran dan ingin mendengar kisahnya. Sampai kisah itu meluap seperti air matanya.

"Aku tau, kamu mengenalku. Karena aku juga tau, aku cukup terkenal. Karena prestasiku di sekolah, karena banyak geng-geng kaya yang mengajakku bergabung namun aku tolak tegas, karena aku banyak dibicarakan oleh penggosip ulung. Tapi, kalian hanya mengenal aku dari sisi bayang-bayang saja. Hei, siapa sih yang mengenal orang lain secara utuh kecuali Yang Menciptakan?" Ia terdiam beberapa saat.

Aku memandangi wajahnya yang sedikit lebih ramah. Mendengar curahan jiwa yang tak pernah terungkit satu kisahpun dari pundaknya. Aku tak memaksa ia menyambung ceritanya, apalagi untuk mendesak. Biarlah Rere bercerita seperti pencerita yang selalu bebas bercerita.

"Papa seorang pengusaha yang sekarang lagi meringkuk di penjara karena terlilit banyak hutang, istri-istrinya pada ribut ngurus harta gono-gini karena mau cerai. Mama yang sudah dua tahun berpisah dengan Papa, kini nggak jelas kerja di mana. Aku tinggal sama Abang yang juga nggak jelas kerja dan kuliahnya. Aku nggak ngerti sama hidupku sendiri." Rere menunduk dalam-dalam, mendekap tangis yang sudah membanjir.

Aku mengelus punggungnya, kata Vina: cewek kalo nangis cuma pengen butuh ketenangan. Kayak pelukan, atau dikasih kata-kata kesabaran. Ironi juga, sebagai cewek aku tahu hal itu dari orang lain. "Re, kamu nggak hanya hebat dalam masalah pelajaran. Kamu juga hebat dalam masalah hidup. Ketegaran, kekuatan, ketabahan. Thanks, Re." Kataku jujur.

Rere mendongak, menatapku tak percaya. "Serius? Aku percaya hatiku sedang rapuh, kamu.. Bisa-bisanya bilang aku tegar, tabah, kuat."

Aku mengangguk, tersenyum padanya. "Ya, gitu.. Di balik semua kerapuhan, Allah pasti mengirimkan satu kekuatan. Aku yakin, Re. Dan selalu percaya. Masalah-penyelesaian, tangis-tawa, rapuh-kuat. Semuanya satu paket." Ucapku sok bijak. Menggaruk-garuk kepala. Bingung juga. Ini yang bicara aku, 'kan? Busseeeetttt.

Rere tersenyum, menghapus air matanya. "Oke, sekarang aku bakal ngebuktiin sama ucapan kamu itu. Aku cewek yang tegar, kuat, dan tabah. Thanks, ya. Siapa nama kamu?"
Dengan malu-malu, aku menyebut namaku. "Belia."

Rere menjabat tanganku. "Sumpeh lo? Nama kamu belia, kalo udah jadi Nenek-nenek. Pasti ganti nama jadi Manula, ya. Hahaha." Katanya tertawa.

"Belia itu artinya muda. Jadi, aku nggak bakalan keliatan kayak Nenek-nenek. Orang aku terlahir sebagai cewek imut, tuh! Yang pasti awet muda."  Aku membela diri.
Rere menatapku. "Aku suka hijab kamu," Pujinya.

Aku tak menghiraukan kata-katanya, yang pasti perhatianku tertuju pada jam tangan Rere. Udah jam berapa, ya? Tadi, aku berada dalam perjalanan pulang sehabis sholat isya di masjid. Gara-gara Vina cs yang jahat banget ninggalin aku sewaktu wirid, terpaksa deh pulang sendirian.

"Pulang, yuk!" Ajak Rere, benar-benar mengerti apa yang sedang kuresahkan.
Tin! Tin! Tin!
"Bel, cepet pulang! Abi sempet khawatir kamu nggak pulang-pulang. Udah jam setengah sepuluh."

Motor matic itu berada tepat di depan aku dan Rere. Pengemudinya melepas helm, Abi!
"Re, kamu sendirian?" Kataku cemas. Merasa tidak enak.

Rere mengangguk. "Udah biasa, setiap malam juga kesini. Kalo lagi galau berat, biasanya aku sampai jam dua belas. Biasa aja tuh." Rere berkata santai.
"Kamuuu..." Aku melongo.
Tin! Tin! Tin!
Buru-buru aku melompat untuk duduk di jok belakang motor.
Rere melambaikan tangan. "Thanks pake banget. Assalamu'alaikum!"
Aku membalas lambaiannya. "Wa'alaikumsalam."
***

Disekolah, pagi-pagi sekali aku langsung menuju mushola. Pengen ketemu Vina yang biasanya jam segini sholat dhuha. Ingin benar aku menyemprotnya, sebab meninggalkanku kemarin malam.

"Bel!" Teriak Rere di gerbang sekolah. Senyumnya mengembang, seolah tak terjadi apa-apa di hatinya semalam.
"Assalamu'alaikum, Re!" Aku mengucap salam, setelah Rere berada di hadapanku.
"Wa'alaikumsalam. Eh, mau kemana? Kok cepet-cepet, mau jogging?" Rere tertawa kocak.
"Nggak. Mau marahin Vina. Dia ninggalin aku kemaren malam itu, jahat!" Gerutuku kesal.
"Kenapa dimarahin?" Tanya Rere. Iya, ya. Kenapa dimarahin? "Gara-gara kamu ditinggalin, kamu ketemu aku malam tadi. Kalo kalian pulang bareng, emang bisa kamu peduli ada orang lagi nangis jalan sendirin, pula?"

Betul juga sih.
"Daripada marah-marah. Mending, kasih tahu aku, dong. Rasanya berjilbab itu, gimana?" Rere bertanya penuh antusias. Ia menarik lenganku untuk duduk di teras koridor.

Rasanya gimanaaaa, ya? Enak. Eh, ini jilbab bukan makanan. Dingin. Eh, ini jilbab bukan es batu. Merasa aman. Ya, itu! "Merasa aman aja, Re. Nggak ada yang ganggu.." Kataku, lagi-lagi sok bijak.
"Emang cewek yang nggak berjilbab itu sering diganggu, ya?" Rere terlihat bingung.

"Gini lho, Re. Kamu pernah, nggak? Misal, sewaktu pulang sekolah. Jalan sendirian. Tiba-tiba ada sekelompok cowok yang ngegodain kamu. Pernah, nggak?"
"Nah, aku pernah. dirayu-rayu, digombalin, disiul-siul, gituuuu.. Terus dibilang, 'kamu cantik, rambutmu bagus.' Emang kalo cewek berjilbab gimana, Bel?" Rere menopang dagu, menatap jilbabku yang agak lebar.
"Kalo cewek berjilbab pulang sekolah sendirian, dirayu-rayu, siulannya pake empat harakat.. Terus dibilang, 'ukhtii.. Anti bidadari surga, hijabnya syar'i.' Hahahaha.." Kontan aku ngakak, itu jawaban paling ngasal yang pernah kulontarkan.

"Emang begitu, Bel?" Rere bengong.
Aku menggaruk-garuk kepala. Percaya aja, dia!
"Hai, friends! Good morning. Gimana kabar lo? Kangen banget gue sama lo." Kata cowok yang tiba-tiba datang menghampiri kami.

Aku tidak tau siapa dia. Mungkin anak baru. Cowok berkacamata kotak itu mengambil duduk di samping Rere.

"Eh, kamu.. Bobby? Baru pindah kesini? Makin keren aja kamu sekarang, Bob." Rere menyambut sapa dengan ceria.
"Hahaha. Bisa aja lo! Pasti mau minta traktir, 'kan? Iya. Gue pindahan, baru hari ini. Bokap pindah kerja, jadi ikut kesini juga." Bobby memandangiku sejenak, tersenyum ramah sambil memperlihatkan gigi behelnya. "Lo temen Rere? Hai, salam kenal. Gue Bobby." Ia mengulurkan tangan.

Aku mengatupkan kedua telapak tangan, meminta maaf. Tulus menyebut namaku. "Belia. Maaf, ya. Lagi menjaga wudhu, nanti wudhunya batal. Hari ini ada jadwal ngaji, malas wudhu bolak-balik." Kataku, memberikan alasan. Mungkin, wudhu salah satu alasan akurat untuk nggak bersentuhan yang bukan mahram.

Bobby menarik uluran tangannya. Menggaruk-garuk kepalanya. "Hehehe. Sorry. Elo pasti akhwat di Rohis. Iya, 'kan? Assalamu'alaikum, Ukhti!" Ia mengatupkan telapak tangannya di depan dada.

Aku menjawab salamnya. Tapi Rere ikut-ikutan mengatupkan tangan, dengan nada yang dibuat-dibuat ia berucap: "Marhaban.. Yaa Ramadhan!"
Kami bertiga tertawa.
"Eh, Re. Gue suka deh, lihat Belia ini. Mandangin dia. Gilee! Teduh banget, cewek berjilbab mah!" Bobby mengedip-ngedipkan matanya ke padaku, genit!
"Bob, ini jilbab. Bukan pohon! Nggak ada teduh-teduhnya." Ledekku mengomentari kata-katanya.
"Hahaha. Receh lo! Re, kapan mau ikut berjilbab kayak Belia?" Tanya Bobby yang melihat Rere melamun.

Rere langsung tersadar dari lamunannya. "Nah, kamu sendiri kapan ikut berjilbab?" Ia memutarbalikkan pertanyaan.

Aku cuma ngakak anggun. Istilah ngakak anggun kubuat saat aku pengen ketawa di hadapan ikhwan alias cowok. Suara wanita 'kan aurat, jadi nggak boleh diumbar-umbar apalagi ngakak. Jadi, biar lebih meng-akhwat-kan diri. Ngakaknya diredam pake ketawa bisik-bisik. Hihihi.
***

"Bel," Panggil Rere.
"Hmm.." Aku cuma berdehem. Malas banget nyahut, kalo lagi ngunyah tahu  isi dipanggil-panggil kayak gini.
"Jadi anak Rohis itu seru nggak, sih? Selama sekolah di sini, belum ada tuh ekskul atau organisasi yang aku ikuti. Paling cuma debat, itupun bukan ekskul apalagi organisasi. Abis pake pilih-pilih sih orangnya." Rere menyeruput teh botol.

Aku mengangguk, sambil mencolek sambal tomat dengan tahu isi. "Seru, dong. Ukhuwahnya erat banget. Apalagi hampir setiap hari kita ada kegiatan. Senin syuro mingguan, Selasa RQS alias Remaja Qur'an Sejati di mana belajar Qur'an dari nol yang paling nol, Rabu ada mentoring membahas materi keagamaan and evaluasi ibadah selama seminggu, Kamis ada study arabic, Jum'at setelah cowok-cowok sholat di masjid kita adakan ta'lim gabungan akhwat-ikhwan. Kalo di setiap syuro', ada proker yang mau kita bahas. Yaitu acara-acara yang digarap setiap bulan. Kayak mabit (malam bina iman dan taqwa), rihlah (tafakur di alam bebas), outbond, rujak party, nobar, seminar-seminar: seminar valentine day/seminar membahas cinta, seminar jurnalistik, seminar motivasi belajar, seminar kaligrafi, de el el." Aku meneguk ludah. Mulutku hampir berbusa menjelaskannya. Nggak sadar, kalo kegiatanku sebagai anak Rohis padat banget!

Wajah Rere terlihat bingung. "Kalo segitu padatnya, kapan belajar and ngerjain peer?"
Aku menarik napas, masih ngos-ngosan. "Gini, Re. Ada SMS Tahajjud setiap malamnya yang disebar secara bergilir oleh anggota Rohis. Jadi, kita semua bisa ngerjain tahajjud bareng-bareng dalam waktu yang sama di tempat yang berbeda. Nah, setiap habis tahajjud. Langsung belajar dan mengerjakan semua hal tentang tugas."

Rere makin bingung. "Nggak ngantuk, tuh?" Ia mengambil pisang goreng dalam jejeran kue.
"Mungkin, pertama-pertamanya ngantuk. Tapi.. Lama-kelamaan nggak, tuh! Kita berprinsip sama kalimat yang mengatakan: Lebih baik sholat daripada tidur. Lagipula, ngapain sih tidur lama-lama? Kebanyakan tidur bisa bikin hati berpenyakit, terus 'kan sewaktu tidur kepala kita dikasih tiga buhul ikatan sama setan. Kalo kita bangun tidur itu baca do'a, berdzikir, ambil wudhu, dan sholat. Pasti tuh tiga buhul ikatan lepas di kepala kita. Nah, makanya sholat tahajjud itu jadi penting banget. Menyesuaikan sama kewajiban dunia juga!" Aku segera meraih segelas teh es. Busset. Menjelaskan kayak gini aja bikin haus, apalagi nanti jadi ustadzah, ya. Yang ngomong masalah ini-itu, ngejelasin ini-itu, dan blablabla..
Rere bengong sambil ber-OoO ria.
***

Senja itu, langit jingga menaungi kami untuk jalan berdua. Bersisian. Memang pulang sekolah sudah sekitar empat jam lalu. Aku dan Rere lebih memilih duduk di masjid untuk hanya sekedar bertukar cerita. Tentang aku. Kehidupanku yang kata Rere terlalu membuatnya cemburu.

Ummi dan Abi tak pernah bertengkar, setidaknya itu yang diperlihatkan padaku Apalagi memikirkan untuk berjalan masing-masing. Nampak selalu harmonis. Aku, anak satu-satunya yang terlalu manja kadang terlalu merepotkan. Dengan segala kesederhanaan kami, aku wajib untuk diistimewakan. Dan itu membuat aku merasa berarti.

"Senang ya, Bel. Punya orang tua yang selalu perhatian." Rere membuka pembicaraan.
"Alhamdulillah. Kadang ngeselin juga, Re. Soalnya kita nggak bisa bergerak. Dikit-dikit dikontrol." Kataku sedikit mengeluh.
"Bagus dong. Tandanya orang tua perhatian banget-banget tuh. Kalo aku, lebih memilih dipingit daripada berkeliaran tapi nggak pernah dipeduliin kayak gini. Percaya nggak, aku udah nggak ketemu Papa dan Mama hampir enam bulan. Terakhir kali, sebelum Papa masuk penjara. Kalo Mama, terakhir kali ketemu sebelum beliau memutuskan untuk bekerja tanpa pernah menghubungi kami lagi setelahnya." Rere menatap langit.

Aku menegak ludah. Gilaa. Aku saja tidak bertemu Ummi atau Abi dalam lebih tiga hari udah nangis-nangis nggak jelas, mewek-mewek nggak tentu arah. Namun.. Rere? Aku salut padanya!

Lamat-lamat, pastilah luka itu mengucur deras di dadanya yang sekarang tampak lebih kuat walaupun masih saja terlihat ringkih, diam-diam. Senja itu, ia mencengkeram tanganku. Kuat-kuat. Aku tak mengeluh untuk minta dia lepaskan. Aku tak marah saat cengkeramannya membuatku sakit. Aku hanya ingin ia mengumpulkan kekuatannya yang tersisa, dari Yang Maha Kuat. Aku hanya ingin ia menjadi wanita yang benar-benar menyentuhkan dadanya dalam kesabaran, sebab Allah bersama orang-orang yang sabar. Aku ingin Rere selalu disertai Allah, karena dengan itu temanku ini selalu dilindungi oleh Penolong sebaik-sebaik penolong.

"Aku ingin masuk Rohis," Kata Rere, tersenyum. Ia tertawa melihatku yang ternganga, nggak percaya. "Apa sih? Kok mukamu begitu. Ada yang salah, ya? Ketika seorang anak manusia ingin bergabung kepada kelompok yang mendalami agama sendiri, dengan alasan ingin mengenal Tuhannya lebih jauh." Rere manyun, keren juga kata-katanya barusan. Lagi-lagi ia melanjutkan. "Aku lihat, Rohis begitu erat ikatan kekeluargaannya. Bel, aku sudah kayak nggak punya keluarga. Kamu tahu? Sore kemarin itu, Bang Rio digrebek polisi di rumah temennya. Alhamdulillah, Mama setiap bulannya mengirimkan uang ke rekeningku yang aku buat satu tahun lalu. Nggak tau, juga sih. Kabar itu benar atau nggak. Aku berharap Mama memberikan rezeki yang paling halal untukku."
"Pulang yuk, kita lanjut dijalan lagi!" Aku menarik Rere yang kayaknya mau jadi batu lumutan gara-gara diam disini.
"Maaf ya, dulu kamu kira aku anak orang kaya yang selalu bawa mobil kemana-mana. Tapi sekarang udah beda, sejak Papa masuk penjara." Rere menggandeng lenganku, menyesal.
"Eh, nggak apa-apa. Aku emang hobi jalan kaki, Neng. Lebih irit. Lebih sehat. Hehehe." Aku nyengir kuda.
"Dan lebih menerima takdir!" Timpal Rere.

Kami tertawa sama-sama. Sampai angin senja meniup wajahku. Aku dan Rere saling pandang, mengambil ancang-ancang untuk berlari. Rambut Rere yang tergerai panjang tertiup angin, berterbangan ke segala arah karena dibawanya berlari kencang. Rambut yang aku yakin akan segera menghilang, digantikan oleh selembar kain panjang nan lebar yang melindungi tubuhnya secara kaffah (menyeluruh). Serta menutupi luka hatinya, yang aku harap tak lagi suka berdarah, yang terlalu sering terluka.


Rabu, 6 Ramadhan 1439H
Qatrunnada Hulwah
#fkiashshirath
#comfortableandcreative


Komentar